Kamis, 09 Agustus 2012

Sebuah cerita

Ketika aku pulang malam itu, sewaktu istriku sedang menghidangkan makan malam, kugenggam tangannya dan berkata, "Ada yang ingin kukatakan."
Dia duduk dan makan dalam diam. Sekali lagi, aku melihat kesedihan terpancar di matanya. Tiba-tiba, aku lupa apa yang harus kukatakan. Tetapi, aku harus memberitahunya apa yang sedang kupikirkan.
"Aku ingin bercerai!"
Kumulai topik itu dengan tenang. Dia tidak kelihatan terganggu dengan perkataanku, melainkan bertanya kepadaku dengan tenang, "Kenapa?"
Aku menghindari pertanyaannya. Ini membuatnya marah. Dia melempar sumpitnya dan berteriak kepadaku, "Kau bukan seorang laki-laki!"
Malam itu, kami tidak berbicara sama sekali. Dia menangis. Aku menyadari dia ingin tahu apa yang telah terjadi dengan pernikahan kami. Tetapi, aku sama sekali tidak dapat memberikannya jawaban yang memuaskan. Dia telah kehilangan hatiku yang telah kutambatkan pada seorang gadis manis bernama Dew. Aku tidak mencintainya lagi... Aku hanya kasihan padanya! Dengan rasa bersalah yang teramat sangat, aku membuat naskah surat cerai yang menyatakan bahwa dia dapat memiliki rumah dan mobil kami serta 30% saham perusahaanku.
Dia hanya meliriknya sebentar dan kemudian merobeknya menjadi serpihan kecil. Wanita yang telah menghabiskan sepuluh tahun kehidupannya bersamaku telah berubah menjadi seseorang yang sama sekali tidak kukenal. Aku sangat menyesali waktu, pengorbanan, dan usahanya yang terbuang percuma, tetapi aku tidak dapat menarik kembali apa yang telah kukatakan karena aku sangat mencintai Dew dengan segenap hatiku. Akhirnya, dia menangis dengan keras di depanku seperti yang kuduga. Sebetulnya, tangisannya melegakan hatiku. Keinginan untuk bercerai yang telah memenuhi kepalaku selama beberapa minggu, sekarang terasa lebih jelas dan pasti.
Keesokan harinya, aku pulang ke rumah sangat terlambat dan mendapatinya sedang menulis sesuatu di atas meja. Aku tidak makan tetapi langsung membaringkan tubuku di atas tempat tidur dan dengan seketika tertidur pulas karena aku sangat lelah setelah menghabiskan hari yang sangat menyenangkan bersama Dew.
Ketika aku terbangun, dia masih di sana. Menulis di atas meja. Aku sama sekali tidak peduli. Jadi, kubalikkan badanku dan melanjutkan tidurku. Keesokan paginya, dia memberitahukan persyaratan perceraiannya: dia tidak menginginkan apapun dariku, tetapi memerlukan waktu sebulan sebelum bercerai. Dia meminta agar di waktu yang sebulan itu kami berdua berusaha untuk menjalani hidup seperti biasa sebisa mungkin. Alasannya sederhana: anak laki-laki kami akan menghadapi ujian satu bulan ini. Jadi, dia tidak ingin mengganggu konsentrasinya dengan berita kegagalan pernikahan kami. Hal ini kusetujui. Akan tetapi, dia mengajukan satu persyaratan lagi. Dia memintaku untuk mengingat kembali bagaimana cara aku menggendongnya ke dalam kamar pengantin di hari pernikahan kami. Dia meminta agar setiap hari dalam waktu satu bulan itu aku menggendongnya dari kamar kami ke pintu depan setiap pagi. Kupikir dia gila. Hanya karena ingin membuat hari terakhir kami mudah untuk dilalui, kuterima permintaan anehnya.
Aku memberitahu Dew tentang persyaratan perceraian istriku. Dia tertawa terbahak-bahak dan berpikir bahwa hal itu tidak masuk akal sama sekali.
“Tidak peduli cara apa yang dia pakai, dia harus menghadapi perceraian ini,” katanya dengan nada menghina.
Istriku dan aku sudah tidak berhubungan badan sejak keinginanku untuk bercerai kuutarakan dengan jelas. Jadi, ketika aku menggendongnya keluar pada hari pertama, kami berdua kelihatan sangat canggung. Anak kami bertepuk tangan di belakang kami.
“Ayah menggendong ibu.”
Kata-katanya menimbulkan rasa sedih di dalam hatiku.
Aku berjalan kira-kira 10 meter dengannya di dalam gendonganku dari kamar tidur melalui kamar tamu lalu menuju ke pintu. Dia menutup matanya dan berkata dengan lembut, “Jangan beritahu anak kita tentang perceraian ini.”
Aku mengangguk dan entah kenapa merasa sedikit marah. Aku menurunkannya di luar pintu. Dia pergi menunggu bus untuk pergi ke tempat kerjanya. Aku berkendara sendirian ke kantorku.
Pada hari kedua, kami berdua berperan dengan lebih mudah, Dia menyandarkan dirinya di dadaku sehingga aku dapat mencium aroma bajunya. Aku menyadari kalau aku tidak lagi memperhatikan wanita ini dengan baik dalam kurun waktu yang sangat lama, Aku menyadari kalau dia tidak muda lagi. Terdapat kerutan yang terukir jelas di wajahnya dan rambutnya memutih! Pernikahan kami telah menguras habis tenaganya. Selama beberapa saat, aku terhenyak. Apa yang telah kuperbuat padanya.
Pada hari yang keempat, ketika aku menggendongnya, aku merasakan kemesraan yang telah hilang muncul kembali. Ini adalah wanita yang telah memberikan sepuluh tahun masa kehidupannya yang sangat panjang.
Pada hari yang kelima dan keenam, aku menyadari kalau kemesraan kami semakin tumbuh. Aku tidak memberitahu Dew tentang hal ini.
Ketika waktu sebulan semakin berlalu, semakin mudah bagiku untuk menggendongnya. Mungkin olahraga rutinku yang telah membuatku semakin kuat.
Pada pagi hari itu, dia sedang memilih apa yang harus dikenakannya. Gaun demi gaun dia coba, tetapi tidak dapat menemukan satu pun yang cocok. Lalu dia mengeluh, "Semua gaunku semakin membesar."
Seketika itu juga, aku menyadari kalau dia telah berubah menjadi sangat kurus. Itulah alasannya kenapa aku dapat menggendongnya dengan lebih mudah. Tiba-tiba hal itu menghantamku,... dia telah mengubur kesedihan dan kepahitan yang teramat dalam di lubuk hatinya. Tanpa kusadari, kuulurkan tanganku dan kusentuh kepalanya.
Anak kami tiba-tiba datang dan berkata, "Ayah, ini saatnya untuk menggendong ibu keluar."
Baginya, melihat ayahnya menggendong ibunya keluar sudah menjadi bagian yang teramat penting dalam hidupnya. Istriku mengisyaratkan anak kami untuk mendekat dan memeluknya dengan erat. Aku memalingkan wajahku karena takut kalau-kalau aku berubah pikiran di saat-saat terakhir. Lalu, aku menggendongnya di dalam dekapan tanganku, berjalan dari kamar tidur melalui ruang tamu menuju pintu. Lengannya melingkari leherku dengan lembut dan wajar. Aku memeluk tubuhnya dengan erat, sama seperti pada hari pernikahan kami. Tetapi berat tubuhnya yang ringan membuatku sangat sedih.
Di hari terakhir, ketika aku menggendongnya, sangatlah berat rasanya untuk melangkahkan kakiku. Anak kami telah pergi ke sekolah. Aku menggendongnya dengan erat dan berkata, “Aku tidak menyadari kalau kehidupan kita sangatlah miskin kemesraan.”
Aku mengendarai mobilku ke kantor… Keluar dari mobil dengan terburu-buru tanpa mengunci pintu. Aku takut kalau aku tidak bergegas, aku akan berubah pikiran… Kulangkahkan kakiku ke lantai atas. Dew membuka pintu dan aku berkata kepadanya, “Maaf, Dew. Aku tidak ingin bercerai lagi. Kehidupan pernikahanku membosankan mungkin karena dia dan aku tidak menghargai hal-hal kecil dalam hidup kami, bukan karena kami tidak saling mencintai lagi. Sekarang, aku menyadari bahwa sejak aku menggendongya ke dalam rumahku di hari pernikahan kami aku seharusnya tetap menggendongnya sampai kematian memisahkan kami.”
Seketika itu juga, Dew menyadarinya. Dia menamparku dengan keras lalu membanting pintu dan menangis terisak-isak. Aku turun ke lantai bawah dan pergi.
Di toko bunga, di tengah perjalanan, aku memesan satu buket bunga untuk istriku. Si gadis penjual bunga bertanya kepadaku kata-kata apa yang ingin ditulis di kartu. Aku tersenyum dan menulis, “Aku akan menggendongmu setiap pagi sampai kematian memisahkan kita.”
                                                                                                                                Anonim


Tidak ada komentar:

Posting Komentar